Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget HTML #1

Tidur Bersama Adik, Cerita Keluarga Buku Harian Nailah

Tidur Bersama Adik

Pinterest


Short Parenting Story - Ibu adalah rumah bagi anak-anaknya. Menjadi segala tempat untuk melepaskan segala gejolak dalam jiwa. Namun, ketika menjadi ibu yang memiliki balita dan bayi, tentu memiliki tantangan tersendiri. Terlebih aku adalah full mom untuk anak-anak. Mengurus rumah dan anak-anak seorang diri, dengan bantuan suami yang alakadarnya karena memiliki tanggung jawab dengan pekerjaannya. 

Lelah? Itu sudah pasti, tapi ketika mampu memberikan dan memenuhi segala kebutuhan keluarga dengan tangan ini, ada rasa bahagia yang tidak terungkapkan. 

Di rumah yang minimalis ini, dengan dua kamar tidur, satu kamar mandi, dapur yang sangat minimalis, lahan taman yang diubah menjadi teras, agar bisa menampung kerabat atau tamu yang cukup banyak. Ruang tamu sudah berubah menjadi lahan parkir dua unit sepeda motor, mobil-mobilan dan sepeda anak-anak. Sudah cukup membuat ruang tamu menjadi penuh.

Tapi, aku bersyukur bisa tinggal dengan nyaman bersama keluarga kecilku. Sulungku, Nailah namanya, tapi lebih sering dipanggil Kakak atau Nay. Dia sangat aktif, cepat tanggap, ceria dan sangat ekspresif. Kakak ini sebenarnya tipe penyayang. Terkadang,sering membantuku untuk sekadar menemani adiknya saat 'ku tinggal sebentar. 

Kakak sering mengajaknya mengobrol, bercanda dan bertingkah lucu yang membuat adik tertawa. Hingga pada suatu malam, saat adik rewel karena mengantuk, ingin segera nen dan tidur. Saat itu juga, Kakak ingin ikut tidur bersama adik. Bukan aku tak bisa adil, hanya saja adik ini tidak akan tidur jika ada Kakak di sampingnya. Ia akan rewel karena ingin bermain, tapi kantuk menyerang tak ada ampun. Jadilah aku yang sering meminta Kakak menunggu di ruang tengah, tempat kami tidur. 

"Kakak mau tidur sama Dedek, Nda," rengeknya kala itu. Berdiri di pintu hendak masuk kamar.

"Hush, jangan keras-keras, Kak. Nanti ya, abis ini bobok sama Kakak, biar Dedek bobok dulu, ya?" bujukku pelan saat akan mendekat.

Manik matanya mulai berkaca-kaca, tak tega, seakan penuh harap. Memang sudah menjadi kebiasaannya, saat menjelang tidur selalu ingin di belai, atau paling tidak aku menemaninya dan memeluknya.Yang pasti, ia ingin aku ada saat ia terjaga. Tapi tak ada pilihan lain. Terlebih Abi belum pulang, sehingga aku sendiri yang berusaha menidurkan mereka.

"Tapi Kakak mau bobok, elus-elus, Nda," rengeknya lagi. 

Antara sedikit kesal dan was-was, tapi juga tak tega melihatnya harus mengalah lagi untuk kesekian kalinya. Karena yang sudah-sudah, adik pasti terbangun dan tidak jadi tidur karena menyadari ada teman untuk bermain. Mengantuk tapi ingin bermain. Alhasil, rewel karena merasa tidak nyaman.

"Sebentar lagi, ya, Kak. Ini Dedek bobok, Bunda ke sana, tunggu di sana, ya?" pintaku memintanya menunggu di kasur ruang tengah. 

"Bun ... Nda ... Kakak mau bobok," rengeknya lagi sambil berlalu.

Kakak berjalan dengan sedikit terpaksa dan mulai terisak,tetapi tampak ditahannya. Ah, rasanya aku telah menomorduakan Kakak, padahal pernah kukatakan, dia cinta pertamaku, tapi nyatanya saat ini selalu 'nanti' dan 'cepat' yang harus diterimanya. 

Sekitar lima menit setelah kepergian Kakak ke ruang tengah, aku menghampirinya, melihatnya telah tertidur pulas. Bagai teriris belati melihatnya tak mendapat belaianku menjelang tidur malamnya. Dia harus tidur sendiri, diantar rasa kantuknya yang menyerang hebat. Kuciumi wajahnya pelan dan lembut, kubelai rambutnya, seakan mengirim kekuatan dan rasa cinta yang begitu besar untuknya, juga permintaan maafku.

Biasanya, jika dalam aktifitasnya ada sedikit drama, tidurnya tidak nyenyak. Sering terbangun, rewel, menangis tanpa sebab dan memanggilku. Ia akan makin menangis jika tidak mendapatiku di sampingnya.

Kakak merintih, isakan kecil menemani tidurnya. Ku belai kepalanya, kucium dan kudekap dengan penuh sayang.

"Bunda ...." Memanggilku saat membuka matanya. Lalu kembali terlelap saat melihat aku ada bersamanya. 

Malam beranjak larut, larut beranjak pagi. Kulakukan aktivitas rumah tangga seperti biasa. Sejak beberapa waktu terakhir, aku sedikit memprioritaskan untuk berberes kamar dan ruang tengah. Rumah ini tidak terlalu besar, sehingga mudah bagiku untuk membersihkannya. 

Sengaja kulakukan sebelum mereka bangun, karena jika keduanya sudah bangun, akan banyak aktivitas di luar rencana. Ingin memberikan kenyamanan kepada anak-anak beraktivitas, bukan tanpa alasan mengapa harus mengepel lantai, sebab saat anak-anak makan pasti meninggalkan bekas, pun dengan bermain. Ruangan yang alakadarnya ini ditambah dengan kasur nomor 1 bersemayam di sana, tentu mengurangi ruang gerak. 

Ruang gerak yang hanya itu-itu saja akan tampak sekali jika kotor. Bagaimana jika Kakak tiduran di lantai, bagaimana jika makanannya terjatuh dan diambil lagi, bagaimana saat bermain atau belajar tapi lantai kotor? Bagi anak itu bukan masalah, karena harinya yang ada di pikirannya adalah bermain, bukan memikirkan kenyamanan rumah.

Saat rumah sudah selesai dibersihkan, dan masih berjibaku dengan alat dapur, Kakak bangun datang ke belakang,menghampiriku.

"Bunda lagi ngapain?" tanyanya sambil mengucek-ucek kedua matanya.

"Bunda lagi masak. Maa syaa Allah, Kakak udah bangun? Pinternya. Assalamualaikum, Kak," sapaku. Begitulah kebiasaanku menyambutnya bangun tidur. Kupeluk dan kucium kedua pipinya sambil membelai rambutnya.

"Udah, Nda." 

"Kok nggak dijawab salamnya?" tanyaku.

"Wa'alaikum salam," jawabnya.

"Nah, pinter. Gitu, dong."
Kubopong badan mungilnya mendekati westafel dan mencuci mukanya. Lalu mengelapnya dengan handuk yang tak jauh dari sana.

"Bunda masak, apa?" 

"Bunda masak sayur nih, Kakak mau?" tanyaku. Kakak termasuk anak yang suka sayur, bahkan cukup tahan dengan rasa pedas.

"Oh, masak sayur Kakak, ya? Kakak mau, Kakak mau, Kakak mau makan, Kakak laper."

Kuambilkan makan dengan piring plastiknya yang berwarna pink fanta. Bening bayam sudah berpindah tempat, sudah siap disantap. Dimintanya untuk makan sendiri sambil menonton serial kartun kesukaannya, Nusa dan Rara.

"Kakak mau makan di situ sambil nonton Nusa Rara, boleh nggak, Nda?" tanyanya. Kakak sudah mulai terbiasa meminta izin untuk meminta sesuatu.

"Boleh, yuk."

"Tapi Kakak makan sendiri ya, Nda."

"Iya, tapi doa dulu, ya."

Dilahapnya bening bayam setelah membaca bismillah. Sesekali tawa riang terdengar. Terkadang, Kakak juga mengikuti percakapan di film tersebut. Bahkan sampai hafal percakapan di tiap film di beberapa judul yang berbeda. Meski sudah diulang berkali-kali, tapi tetap tidak bosan. 

Selang sekitar lima belas menit kemudian, sudah dihabiskannya bening bayam hangat, dengan dihiasi beberapa butir nasi yang jatuh ke lantai dan kuah bening bayam di lantai.

"Nda ... Kakak udah selesai makan, nih. Udah abis. Kakak pinter," pujinya pada diri sendiri. Terbiasa dengan pujianku jika bisa melakukan sesuatu, seakan senang sekali saat bisa melakukan sendiri meski hal kecil sekalipun. 

"Maa syaa Allah, pinternya makannya abis, makan sendiri. Gitu dong, kan nggak mubazir. Mubazir itu temennya se ...."

"Tan." 

"Sip. Pinter. Udah minum, belum?"

"Udah kok, tadi kakak minum bebek." Minum bebek itu botol minum berwarna pink yang ada gambar bebek kecil di antara beberapa kucing besar. Tapi fokusnya adalah bebek kecil berwarna kuning.

"Semalem Kakak bobok sendiri, ya? Maaf ya, Kak. Kakak nungguin, ya, mau dielus-elus Bunda?" tanyaku sambil memangkunya.

"Iya, kan Kakak mau bobok sama dedek, mau elus-elus Bunda, Kakak bobok sendirian, deh," keluhnya.

"Maaf ya, Kak. Dedek semalem kan nangis mau bobok, kasian kan. Kakak nggak marah, kan?"

"Kakak nggak marah, kok. Kan Dedek mau bobok ya, Nda. Kasian, capek. Nanti nangis lagi loh, minta nenen," jawabnya dengan polos, melupakan kekesalannya harus mengalah untuk kesekian kalinya.

"Makasih, ya, udah nggak marah."

"Sama-sama, Bunda. Dedek kan ngantuk, mau bobok, capek, kan kasian ya, Nda." Kakak yang memang ceria dan suka bercerita, menceritakan kembali panjang lebar dan berulang-ulang.

"Iya, kasian kan nanti nangis. Kakak sayang kan sama Dedek?" tanyaku sambil mengecup pipinya.

"Iya ya, Nda. Kasian ya Dedek nangis aja, iiihh ... Kakak sih, nakal." 

Kakak ini memang suka berputar-putar saat bercerita, imajinasinya ke mana-mana. Seringnya jika ada sesuatu yang kurang baik, itu 'nakal'. Jika 'sakit' itu jatuh. Padahal tidak selalu tentang itu. Seperti semalam, Adiknya menangis karena mengantuk, entah mengapa Kakak berpikir bahwa dia nakal. Mungkin karena sempat ingin 'ndusel-ndusel' yang menyebabkan si adik gagal tidur sampai beberapa kali.

"Loh ... Kok nakal? Kakak kan nggak nakal, Dedek itu nangis karena mau bobok. Kakak kan baik, sayang sama Dedek, iya kan?" terangku.

"Oh ... Gitu, ya, Nda? Iya, Kakak kan sayang sama Dedek, sayang sama Bunda, sayang Abi. Gitu deh," ucapnya panjang lebar sambil menengadahkan tangannya disamping kedua lengannya.

Kakak ini mudah sekali memaafkan, juga sangat ringan lisannya untuk meminta maaf, sudah mulai memahami ekspresi marah dan menjadi anak yang peka terhadap keadaan.

"Kalo sayang peluk dulu, dong," pintaku sambil merentangkan kedua tangan.

Lalu Kakak menghambur ke pelukanku seperti Teletubbies. Diberinya kecupan di pipi kanan dan kiri setelah kusodorkan pipi ini. Dikecupnya dengan kuat dan sedikit mendorong. Saat kuberikan kode untuk mengecup kening, Kakak justru membuat kening kami beradu.

"Aduh ... Kakak, kan kejedut, nih," keluhku di iringi tawa dan disambutnya dengan tawa ceria.

#sliceoflife
#basedontruesrory

Post a Comment for "Tidur Bersama Adik, Cerita Keluarga Buku Harian Nailah "