Malu Kalau Tidak Sholat, Cerita Keluarga Buku Harian Nailah
Cerita Cinta Keluarga Bahagia
Dokpri
Short Parenting Story - Adzan berkumandang memanggil para hamba untuk segera bersujud padaNya. Kakak masih asyik dengan dunianya, namun seketika berhenti dan mengguncang tubuh Abi yang sedang beristirahat siang.
"Bi ... Bangun, Bi. Udah adzan, loh. Sholat dulu, Bi. Udah adzan, Bi, udah adzan," serunya seraya berusaha membangunkan Abi.
Abi menggeliat, menatap gadis kecilnya seraya tersenyum. Gadis kecil ini sudah bisa jadi alarm hidup otomatis. Kelebihannya, Kakak ini akan mengulang kalimat yang sama sebelum ada tanggapan, tidak kalah dengan jam weker yang akan terus berbunyi sebelum dimatikan.
"Iya, Kak. Oh, udah adzan, ya?"
"Adzan, Bi. Udah adzan tuh, sholat dulu, Bi. Kan udah adzan, Abi mau sholat ke masjid,ya? Kakak ikut, ya?"
"Kakak sholat di rumah aja, ya, sama Bunda," selaku.
"Kakak mau ikut sholat di masjid sama Abi, boleh nggak, Nda?" pintanya.
"Sholat di rumah aja ya, sama Bunda?" bujukku.
"Kakak kan mau ikut Abi, mau sholat sama Abi di masjid," pintanya.
"Iya, tapi sekarang sholat di rumah dulu, ya. Kakak sholat sama Bunda dulu," terangku.
Dengan sedikit terpaksa, ia menurut. Digulungnya baju dan celana, hendak mengambil air wudhu di belakang. Di mulai dengan membasuh kedua tangannya hingga siku, kedua kakinya di putar-putar di bawah kran air. Lalu beranjak mengeringkan kaki di keset. Namun, ia diam dan tampak berpikir sejenak. Kuperhatikan gelagatnya yang nampak mengingat-ingat sesuatu.
"Eh ... Kakak lupa belum cuci muka, Nda," ujarnya seraya tertawa malu menutup mulutnya dengan tangan.
Kusambut dengan tawa dan gelengan kepala. Anak-anak memang ada-ada saja tingkahnya. Berwudhu tapi tidak membasuh muka, karena merasa ada yang tertinggal, maka dilakukannya gerakan membasuh muka tanpa mengulang gerakan wudhu yang lain. Wudhunya jadi seperti mencicil, ya. Ini bagian dari proses belajar, setidaknya, ia sudah memahami bahwa ada kesalahan yang dilakukan saat berwudhu.
"Ya udah, cuci muka dulu. Hayo ... Kakak lupa, ya?" godaku sambil sambil menunjuk hidungnya dengan telunjuk.
"Hihihi, iya Kakak lupa," jawabnya dengan tawa riangnya.
Selesai membasuh muka yang tertinggal, ia mengambil mukena putih dengan motif bunga warna merah muda dan biru laut. Digelarnya sajadah warna biru bergambar masjid. Merapikan sisi sajadah yang terlipat ke dalam. Bersiap mengambil posisi sholat menghadap kiblat.
"Abi berangkat dulu, ya, Kak. Kakak sholat di rumah sama Bunda," titah Abi sambil berpamitan pada gadis kecilnya.
"Iya, Abi hati-hati ya, Bi. Jangan nakal ya," jawabnya seraya mencium tangan dengan takzim.
Dikerjakannya sholat sampai akhir. Mengikuti gerakan sholatku sebanyak empat rakaat. Sholatnya cukup rapih, tidak banyak bermain seperti biasanya. Kakak yang suka sekali menirukan percakapan di film kartun kesukaannya, mempraktikkan percakapan selesai sholat tentang dzikir.
"Subhanallah, subhanallah, subhanallah." Kakak menirukan tokoh Rara yang berdzikir mengikuti Kakka dan Ummanya seraya menghitung menggunakan jari.
Berdialog sendiri dengan imajinasinya, seakan-akan ia adalah tokoh Rara saat ini. Memanggil Anta, si kucing kesayangan untuk meminjam jarinya menghitung dzikir. Anta meronta dan menimbulkan kebisingan, sehingga menyebabkan Nusa yang terganggu karena berisik sehingga lupa jumlah dzikir yang sudah dibaca. Sampai dengan tokoh Umma yang menjelaskan bacaan dzikir.
"Ada tasbih, takbir, dan tahmid," bisiknya.
Lalu berdoa untuk ke dua krang tua setelah ia merasa selesai berdzikir. Doa ditutup dengan doa sapu jagat. Diusapnya ke dua telapak tangan ke muka.
"Kakak udah do'a, Nda."
"Pinternya, anak shalihah. Doain Bunda sama Abi, nggak?" tanyaku.
"Doa, kok."
Aku yang sudah merencanakan kegiatan apa saja yang akan kukerjakan, karena adik sedang tidur. Sayangnya aktifitasku yang hendak melepas mukena jadi terhenti.
"Bunda ... ngaji, yuk,di sini aja tapi ya, jangan di kasur," ajaknya.
Ada rasa haru, bahagia, dan bersyukur. Di usianya yang masih kecil, sudah bisa sedikit memahami tentang ibadah.
"Oh, iya. Ayuk, Kak," jawabku seraya mengambil dua mushaf.
Dibacanya 10 ayat pertama An Naba dengan gaya bahasa balita. Dilanjutkan dengan membaca An Nas. Maa syaa Allah, sekali duduk ia sudah membaca juz 30. Tapi hanya pembuka dan penutup saja. Lalu ditutupnya mushaf dan melepas mukenanya bersamaan dengan terdengarnya suara gerbang dibuka. Segera ia berlari membuka pintu sesaat setelah selesai melepas mukenanya.
"Assalamualaikum."
"Waalaikum salam. Bi ... Kakak udah sholat, Bi. Kakak tadi sholat sama Bunda, Kakak udah ngaji. Kan Kakak pinter, anak sholihah," ujarnya panjang lebar.
"Wah, Maa syaa Allah, Kakak udah sholat? Udah ngaji?" tanya Abi.
"Iya, Bi. Kan anak pinter, anak sholihah, mau masuk surga. Abi mau ikut, nggak?"
"Mau dong."
"Bunda mau ikut nggak masuk surga sama Kakak, sama Abi, sama Dedek juga?" tanyanya saat aku sudah bergabung dengan mereka do ruang tengah.
"Mau dong, boleh ikut?"
"Boleh, kok."
Seperti yang sudah-sudah, Kakak akan bercerita hal yang sama. Mencampur adukkan cerita dari berbagai waktu dan tempat menjadi satu cerita dalam satu paragraf. Ada hubungannya? Tidak selalu, apa yang ia ingat, apa yang ia pikirkan, itu yang akan ia ucapkan.
***
Kami bersiap pergi ke rumah salah satu saudara untuk suatu kepentingan. Perjalanan tidak terlalu jauh, tiga puluh sampai empat puluh lima menit perjalanan, tergantung bagaimana keadaan di jalan dan kecepatan si pengemudi.
Kebetulan ada anak sepupu yang sebaya dengan Kakak, panggil saja Ata, hanya beda dua minggu usianya. Kakak bermain sebentar, tapi tidak terlalu akrab karena jarang sekali bertemu. Bertepatan dengan adzan Dzuhur, Kakak kembali mengingatkan Abi untuk sholat dan merengek untuk ikut sholat di masjid.
"Udah adzan, ya, Nda? Abi mau ke masjid, ya? Kakak mau ikut, Kakak mau ikut sholat di masjid, Kakak mau ikut, ya, Nda?Kakak mau ikut Abi," pintanya.
Kulirik sekilas pria yang empat tahun belakangan ini menjadi suamiku. Meminta jawaban untuk permintaan anak sulung kami ini.
"Ya udah, ikut nggak apa-apa, tapi janji nggak nakal, ya? Nggak boleh ganggu, ya?" kata Abi.
"Iya, Bi. Janji." Diacungkan jari kelingking dan meminta jari kelingking Abi agar saling bertautan. Entah melihat siapa dan di mana tentang janji kelingking ini, seingatku, aku belum pernah mengajarkannya. Sambil menunggu mereka sholat di masjid dan bergantian sholat, aku menjaga adik di ruang tengah sambil bercengkrama dengan saudara. Banyak hal yang kami bicarakan, tapi topik obrolan kami tidak jauh tentang anak-anak.
Sepulang dari masjid, dengan ceria, Kakak menceritakan kegiatan sholatnya. Seakan sebuah prestasi karena telah melakukan suatu hal yang luar biasa.
"Assalamu'alaikum, Kakak pulang, nih," kata Kakak.
"Waalaikum salam, maa syaa Allah, Kakak udah pulang, ya?"
"Kakak abis sholat di masjid, sama Abi sama Kakek. Kakak pinter, anak sholihah loh. Kakak kan baik," ujarnya.
"Alhamdulillah, Kakak nggak ganggu, kan?"
"Enggak, kok. Kan Kakak sholat sama Abi sama Kakek tadi," terangnya.
Cerita sholat di masjid ini diulanginya beberapa kali, masih dengan semangat dan antusias yang sama.
"Nda, tau nggak tadi Kakak ngomong apa pas mau ke masjid?" ujarnya saat Kakak yang sedang asyik menonton televisi.
"Apa emangnya?" tanyaku heran.
"Tadi pas mau berangkat, kan ada Ata di depan lagi mainan, terus bilang, 'Kok Mamas nggak sholat ke masjid, ya? Nggak malu.' Bilang kayak gitu coba," terangnya.
"Maa syaa Allah, sekecil itu udah kepikiran malu, ya. Ya ... Alhamdulillah kalau mulai faham kewajiban sholat."
"Tadi juga anteng sholat di masjid, nggak jalan-jalan."
Ada beberapa alasan mengapa meminta Kakak untuk belajar sholat di rumah, tidak ikut di masjid. Anak-anak seusia Kakak ternyata sudah bisa diberikan pemahaman sedikit demi sedikit tentang ibadah.
Mood anak tidak selalu baik, sama seperti kita orang dewasa. Ada kalanya ia sangat rajin ikut melaksanakan sholat, adakalanya juga sulit sekali di ajak sholat. Yang terpenting tetap ajarkan kebaikan kepada anak sejak dini. Biarkan mereka merekam, memahami dan perlahan mulai melaksanakannya dengan baik.
"Nda, tadi Kakak sholat sama Abi sama Kakek di masjid, Kakak nggak nakal," ujarnya.
"Oh gitu, maa syaa Allah anak sholihah," jawabku untuk kesekian kalinya menanggapi cerita yang sama di hari yang sama.
#sliceoflife
#basedontruestory
Post a Comment for "Malu Kalau Tidak Sholat, Cerita Keluarga Buku Harian Nailah "