Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget HTML #1

Adikku Sayang Jangan Menangis, Cerita Keluarga Buku Harian Nailah

Cerita Cinta Keluarga Bahagia 



Allfams - Elwafa kini usianya tujuh bulan. Sedang belajar untuk merangkak, meski yang bisa ia lakukan justru sebaliknya, bukan menjadikan kaki sebagai tumpuan agar maju, malah menjadikan tangan untuk mendorong badannya kebelakang. 

Kakak dan adik ini bagai tutup dan botol. Apapun yang dilakukan Kakak, hampir selalu membuat adik tertawa, bahkan tak jarang sampai terbahak. Begitu juga sebaliknya, adik sudah bagaikan boneka hidupnya Kakak yang bisa ia mainkan sesuka hati. Bisa 'diuwel-uwel' kapan saja.

Kegiatan mereka ini tak jarang membuatku was-was, khawatir dan takut karena cukup berbahaya saat Kakak bermain dengan adik dan belum bisa mengontrol tenaganya. Terbiasa bermain denganku juga Abinya, dengan tenaganya yang sudah mulai terasa. Sayangnya, ketakutan ini justru disambut tawa riang oleh Adik. Memang mereka ini anak yang tidak bisa ditebak.

Elwafa mulai bosan berguling di kasur, direbahkannya di bantal sofa warna baby pink, hadiah dari salah satu rekan kuliah dulu. Karena sudah mulai bertambah pola, Elwafa yang biasa dipanggil Dedek ini ingin lebih tegak lagi duduknya. Selalu mengangkat kepalanya karena masih terlalu rendah bagian kepalanya. 

Kakak berinisiatif memberikan bantal tambahan agar adik bisa duduk lebih tegak. Kakak yang memang usil dan jail dengan Adik, ikut saja ingin duduk di bantal sofa yang sebenarnya hanya cukup untuk satu anak itu.

Berbekal tutup toples kaleng wafer T*ng* digunakan sebagai setir mobil, terinspirasi oleh serial kartun islami kesukaannya Nusa dan Rara di episode Dahsyatnya Basmallah, di mana dalam film tersebut Nusa dan Rara berboncengan naik sepeda dan lupa membaca basmalah, sehingga terjatuh.

Jadilah Nusa Rara versi Kakak. Duduk berdua dengan adik dengan memegang tutup toples wafer, bergaya sedang mengendarai mobil.

"Are you ready, Guys?" serunya menirukan gaya Nusa saat hendak mengendarai sepeda dengan gaya bahasa khas Kakak.

"Ready ... Berangkat ...."

Sambil memutar-mutar tutup toples dan memiringkan badan ke kanan dan ke kiri seakan mengendarai mobil. Si adik sibuk mencari kenyamanan sendiri untuk duduk karena sebagian bantal dikuasai oleh Kakak. 

Sementara adik sibuk mencari posisi nyaman, Kakak masih asyik dengan imajinasinya.

"Dek, pegangan ya, Dek."

***

Kakak dan Adik sedang asyik bermain di ruang tengah, Abi sudah berangkat bekerja. Sementara mereka berdua aman, aku melanjutkan pekerjaan yang belum selesai. Sesekali kulirik mereka berdua yang asyik dengan dunianya, memastikan tidak ada adegan berbahaya. Terkadang, Kakak tidak bisa diprediksi, adakalanya sangat menjaga adiknya, terkadang juga terlalu gemas. Kulanjutkan aktivitasku setelah merasa mereka aman.

Terdengar suara adik nenangis. Kakak mencoba menenangkan dan menghibur.

"Dek ... kenapa, Dek? Jangan nangis, ya? Kan ada Kakak, Kakak sayang, kok." Dipeluknya sang adik sambil membelai kepalanya.

Melihat dan mendengar Kakak berkata demikian, hati terasa haru, anakku sudah besar rupanya. Setidaknya sudah mengerti artinya menyayangimu. Mungkin Kakak terbiasa dengan kata-kata sayang dariku. 

Aku memang senang sekali mengungkapkan rasa sayang dan cinta pada anak-anak. Baik dengan kata-kata, maupun tindakan. Tak jarang kupeluk sambil kukatakan betapa aku menyayanginya, meski tidak ada apa-apa, ingin saja memeluknya dan mengungkapkan rasa cinta ini.

Setelah itu, ia pun akan merespon, jika ia juga merasakan hal yang sama. Mungkin awalnya ia tidak tahu apa arti dari 'sayang'. Tapi, lambat laun mulai paham bahwa ini adalah 'sayang'. Hingga hari-hari berikutnya, kami pun sering berpelukkan dan mengungkapkan sayang tanpa alasan.

Seakan sebuah kebutuhan yang akan terasa ada hilang jika sehari saja tidak mengungkapkan rasa sayang. 

"Nda ... Bunda ... Dedek nangis, nih. Mau nenen, Nda. Dedek nangis," teriaknya dari dalam kamar.

Kutunda pekerjaanku dan mencuci tangan lalu menghampiri mereka. 

"Dek, nanti jatoh, sana dek jangan minggir-minggir," ujarnya sambil berjaga di pinggir kasur saat aku sudah di dekat kamar.

Adik jika rewel memang biasanya menangis berguling-guling di kasur. Dan si Kakak ini cukup sigap untuk segera merespon Adik. Menanyakan mengapa menangis, memintanya untuk diam ataupun menghiburnya dan segera memanggilku untuk memberikan ASI pada Adik.

"Bunda ... Dedek nangis, nih. Mau nenen!" serunya untuk ke dua kali.

"Iya, Kak." 

"Dedek mau nenen katanya, Nda. Haus," ujarnya.

"Oh iya, makasih, ya. Dedek kenapa nangis? Dedek diapain?" tanyaku hati-hati karena adik tiba-tiba saja menjerit.

"Di elus-elus."

"Kakak nggak nakalin Dedek? Kakak jagain Dedek, ya?" tanyaku lagi.

"Iya, Dedek haus mau nenen katanya. Nangis mau jatoh kesitu," terangnya sambil menunjuk ke sisi kasur, di mana Adik berguling-guling hampir terjatuh

"Maa syaa Allah, makasih, ya, Kak. Udah bantuin Bunda jagain Dedek. Kakak sayang Dedek, kan?"

"Sama-sama, Bunda. Iya, sayang kok."

Betapa terharunya dengan Kakak yang sudah mulai bisa menyayangi Adik. Sudah belajar lebih sigap dan peka terhadap keadaan. Meski tidak dipungkiri, ada kalanya juga ia manja dan tidak ingin mengalah.

Kakak dan Adik kembali bermain. Menemani mereka bermain dan mencoba masuk ke dunianya. Adik selalu saja dengan mudah tertawa dengan tingkah Kakak. Hanya hal sepele, bahkan hanya loncat saja, Adik bisa tertawa. 

Mereka ini bagai tutup dan botol. Adik ini mainannya Kakak. Adik juga senang sekali di 'uwel-uwel' Kakak. Tak jarang sering 'ngelendot', manja kepada Kakak. Seakan ingin diperhatikan lebih dan sangat nyaman dengan Kakak. 

Beberapa waktu lalu, saat Kakak ke rumah nenek tanpa aku dan Adik ikut. Adik ini susah sekali tidur malam. Biasanya selepas Maghrib atau Isya tertidur. Bahkan pernah sebelum Maghrib sudah tertidur. 

Saat itu, sampai malam Adik tidak juga tertidur. Selama beberapa hari seperti sedang menunggu, mencari tapi tak juga bertemu. Hingga akhirnya aku mencoba sounding pada Adik.

"Dek, Kakak tempat Nenek. Nggak usah ditingguin, Kakak belum pulang. Dedek bobok aja, ya."

Sampai tiga malam kulakukan hal tersebut. Baru setelahnya pola tidur Aduk kembali normal. Bahkan anak sekecil itu sudah bisa merasakan kehilangan. Saat bertemu lagi dengan Kakak, Adik sangat senang, girang sekali seakan yang dicari dan ditunggu-tunggu datang juga.

Selepas Isya, kami berempat di ruang tengah. Abi sedang asyik bermain dengan ke dua buah hatinya. Aku hanya memperhatikan dengan duduk diantara mereka. Seakan melepas rindu, hampir seharian tidak bertemu Abi. Abi yang memang senang bercanda, membuat Kakak begitu girang karena ada teman bermain. Adik juga tak kalah girang dan senang karena melihat Kakak tertawa bermain dengan Abi. Melihat tawa mereka, hati begitu tentram.

"Nda, Kakak mau bobok, Kakak capek," rengek Kakak setelah lelah bermain.

"Ya udah, ayok bobok."

"Mau bobok di situ," pintanya sambil menunjuk kamar. 

Adik yang belum terlihat mengantuk masih bermain dengan Abi. Sementara itu aku dan Kakak masuk ke kamar. Sesuai dengan permintaan, Kakak digendong dari ruang tengah menuju kamar.

Kakak tidak langsung tertidur. Masih berguling kesana kemari mencari posisi nyaman untuk tidur. Aku menuntunnya untuk membantu doa sebelum tidur, dilanjutkan dengan tri kul. Yaitu surat Al Ikhlas, Al Falaq dan An Nas. Setelah membaca doa, kubelai dan kucium sebagai penghantar tidurnya.

Cukup lama Kakak mencoba terlelap dan mencari posisi nyaman, tapi sepertinya Kakak masih belum bisa tertidur meski sudah mulai mengantuk. Adik di ruang tengah mulai rewel. Meski sudah dicoba ditenangkan oleh Abi, Adik masih saja menangis. Tak tega mendengar Adik menagis, kucoba merayu Kakak untuk memberikan izin padaku memberikan ASI untuk Adik.

"Kak ... Dedek nangis. Mau nenen. Bunda nenenin Dedek dukui, ya? Boleh?" pintaku.

"Oke," jawabnya sambil mengangguk. 

"Makasih, ya Kakak sayang. Kakak baik, sayang, ya, sama Dedek?"

"Iya."

Maa syaa Allah. Betapa bersyukurnya, diusia yang masih belia, ia mulai belajar untuk tidak egois. Meski kutahu, ia pun ingin aku menemani tidurnya, menghantarkannya ke alam mimpi. Tapi, karena sayangnya pada sang Adik, ia rela mengalah untuk mengizinkanku menidurkan Adik terlebih dahulu.

Sambil memberikan ASI. Aku mengulurkan tangan kanan untuk membelainya. Mencoba menyalurkan sayang yang bersamaan untuk mereka. Adik mulai terlelap setelah mendapat ASI. Kakak juga mulai memejamkan mata di sebelah Adik sambil memeluk dari belakang. 

Maa syaa Allah. Betapa indahnya titipan Allah ini. Melihat mereka terlelap, membuatku merasa sedih juga bahagia. Sedih saat ingat belum bisa memberikan yang terbaik untuk mereka. Tapi aku juga sangat bahagia memiliki mereka yang telah membuat hidup ini terasa makin hidup dan berwarna. Ridhoku milik kalian, aku meridhoi segala kebaikan untuk kalian.

#sliceoflife #parentingstory

Post a Comment for "Adikku Sayang Jangan Menangis, Cerita Keluarga Buku Harian Nailah"